Selasa, 03 Februari 2009

Mengatasi Krisis Keuangan dan Moneter Dalam Konteks Islam

Mengatasi Krisis Keuangan dan Moneter Dalam Konteks Islam

Pendahuluan

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, hingga kini belum berakhir. Berbagai langkah dan kebijakan ekonomi telah ditempuh pemerintah, mulai dari mengundang IMF, merevisi berbagai kebijakan ekonomi dan moneter, hingga kebijakan yang berupaya mendorong berputarnya roda ekonomi, seperti penyaluran dana kepada masyarakat melalui perbankan dengan kredit murah, dan sebagainya. Namun, berbagai upaya tersebut meskipun sebagiannya memang menunjukkan hasil, tapi secara keseluruhan belumlah mampu membawa masyarakat keluar dari krisis. Bahkan, akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berbagai skandal pembobolan bank milik pemerintah. Selain itu, nilai tukar rupiah yang rendah, belum semua sektor riil pulih, tingginya tingkat pengangguran, dan sebagainya, menambah buramnya wajah perekonomian nasional. Artinya, semua langkah-langkah perbaikan yang diambil ternyata tidak secara langsung menunjukkan hasil. Mengapa? Apakah itu berarti bahwa langkah-langkah penyembuhan itu tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya dari munculnya krisis?

Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh krisis keuangan dan moneter. Krisis keuangan dan moneter itu sendiri terjadi karena dua sebab utama. Pertama, persoalan mata uang, ketika nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dolar), tidak pada dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditas yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.

Krisis yang terjadi di sektor keuangan (moneter) ternyata berdampak luas pada kehidupan ekonomi suatu negara. Krisis mata uang yang luar biasa menyebabkan menurunnya pendapatan per kapita suatu negara. Lebih jauh lagi sejumlah industri dan pabrik gulung tikar karena kesulitan likuiditas akibat membayar utang luar negeri yang jatuh tempo serta tingginya harga bahan baku impor. Rasionalisasi yang dilakukan berbagai industri berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan akhirnya menambah tingkat pengangguran secara drastis. Kondisi ini akhirnya memicu berbagai persoalan baru dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik, sebagai dampak dari krisis tersebut. Karena itu, untuk mengatasi krisis ekonomi yang ada, maka terlebih dulu haruslah diatasi faktor penyebab utama terjadinya krisis, yakni persoalan mata uang dan persoalan spekulatif di pasar uang, serta masalah bunga uang atau riba. Mata uang negara harus haruslah stabil dan tidak bergantung pada mata uang lainnya. Hal ini terjadi jika mata uangnya berbasis emas dan perak. Kegiatan ekonomi tidak boleh lagi didasarkan pada sistem keuangan dan moneter yang sangat spekulatif dan penuh dengan rente. Kegiatan ekonomi spekulatif di pasar valas, pasar uang, dan pasar modal (sektor nonriil) telah menyebabkan ekonomi suatu negara menjadi sangat tidak stabil dan rentan terhadap perubahan dunia yang sangat cepat.

Menurut syariat Islam, standar mata uang yang digunakan haruslah berbasis emas (dinar) dan perak (dirham). Dengan standar dua logam ini, maka nilai nominal uang tersebut akan selalu sama dengan nilai intrinsiknya. Karena itu, nilai mata uang tersebut lebih terikat pada dirinya sendiri dan bukan pada mata uang lainnya, semacam dolar atau euro. Dengan kondisi ini, maka nilai mata uang menjadi stabil dan kondisi ini pada gilirannya dapat membuat berbagai perencanaan, penilaian, dan pelaksanaan kegiatan ekonomi menjadi lebih baik dan lebih mudah. Demikian pula Syariat Islam melarang kegiatan spekulatif nonproduktif (transaksi derivatif), baik yang terjadi di pasar uang, pasar valas, pasar saham, ataupun pasar berjangka komoditas. Transaksi derivatif (sekunder) yang penuh dengan spekulatiflah yang menjadikan ekonomi suatu negara labil. Demikian pula Islam melarang terjadinya kegiatan ribawi, baik di sektor perbankan maupun di sektor lainnya. Sistem ribawi tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi yang berarti, bahkan sebaliknya menyebabkan ekonomi menjadi stagnan. Dengan adanya larangan kegiatan spekulatif nonproduktif serta larangan kegiatan memungut rente (riba), diharapkan ekonomi suatu negara menjadi lebih stabil. Kondisi ini akan memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi di berbagai sektor. Hanya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya syariat Islam mengatur sistem mata uang yang berbasis emas dan perak? Bagaimana syariat Islam mencegah terjadinya kegiatan spekulatif di pasar uang, pasar valas, dan pasar modal atau bahkan pasar berjangka komoditas? Bagaimana syariat Islam mengatur sistem keuangan negara tanpa harus terlibat dengan kegiatan spekulatif nonproduktif dan kegiatan rente (ribawi)? Bagaimana pula syariat Islam mengatur sistem keuangan negara tanpa melibatkan kegiatan spekulatif dan ribawi sehingga kegiatan negara dapat berlangsung?

Sistem Mata Uang Emas dan Perak

Yang dimaksud dengan sistem uang emas dan perak (gold and silver standard) adalah penggunaan emas dan perak sebagai standar satuan uang. Kedua logam tersebut dapat digunakan sebagai mata uang tanpa batasan bentuk. Sistem ini telah dikenal sejak zaman dahulu dan dipergunakan di dalam Negara Islam. Dalam pemerintahan Islam, Rasulullah saw. telah menggunakan mata uang tersebut dalam berbagai muamalah saat itu. Keduanya beredar di masyarakat, meski belum memiliki bentuk baku. Rasulullah saw. saat itu tidak tidak pernah mencetak uang tertentu dengan ciri khas tertentu. Karena, yang menjadi standar mata uang ini bukanlah ukuran, ukiran, atau bentuknya, tetapi berat satuan uang masing-masing.

Kondisi semacam ini berlangsung terus sepanjang hayat Rasulullah saw., masa Khulafaur Rasyidin, awal masa Bani Umayyah, hingga masa Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik kemudian melihat perlunya mengubah emas dan perak–baik yang sudah diukir atau belum–yang dipergunakan dalam transaksi, ke dalam cetakan dan ukiran Islam. Kemudian, dibentuk dalam bentuk satu timbangan yang sama, serta berbentuk barang yang tidak perlu lagi ditimbang. Lalu, beliau mengumpulkan mulai yang besar, kecil, dan berbentuk cetakan ke dalam satu timbangan Makkah. Setelah itu, Abdul Malik mencetak dirham dari perak dan dinar dari emas. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun ke-75 Hijriyah. Sejak saat itulah, dirham dan dinar Islam telah dicetak. Dengan kata lain, sejak waktu itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak berbeda-beda lagi.

Kedua logam ini dapat digunakan secara bersamaan karena sistem uang emas pada dasarnya sama seperti sistem uang perak. Negara Islam sejak Rasulullah saw. hijrah telah mengambil kebijakan berdasarkan standar uang emas dan perak secara bersama-sama, tanpa adanya pemisahan. Karena itu, kebijakan moneter tetap harus senantiasa berpijak pada standar emas dan perak tersebut secara bersamaan. Kesimpulannya adalah uang yang beredar di masyarakat harus berupa emas dan perak, baik diwujudkan dalam bentuk fisik emas dan perak maupun mempergunakan uang kertas dengan jaminan emas dan perak yang disimpan di tempat tertentu, semisal bank sentral.

Keharusan Menggunakan Standar Mata Uang Emas dan Perak

Pada dasarnya, Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan mempergunakan barang apa saja yang dia sukai. Bahkan, Islam masih mengakui sistem perdagangan barter. Namun, untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam pertukaran komoditas, alat tukar (uang) menjadi penting dilakukan. Sesuai dengan fungsinya, alat tukar apa pun yang dipergunakan harus dapat menghilangkan perselisihan di antara kedua pihak yang melakukan pertukaran. Dalam hal ini, terkait dengan masalah uang sebagai alat tukar, Islam telah menetapkan emas dan perak sebagai standar mata uang.

Menurut an-Nabhani (1990) ada keharusan untuk menjadikan emas dan perak sebagai standar mata uang dalam sistem ekonomi Islam. Beberapa argumentasi yang mendasari keharusan tersebut adalah:

© Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam hanya mengkhususkan larangan penimbunan harta untuk emas dan perak. Larangan ini merujuk pada fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar (medium of exchange). “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) azab yang pedih” (TQS at-Taubah [9]: 34).

© Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum Islam lainnya, seperti diyat dan pencurian. Islam menentukan diyat dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas. Islam juga mengenakan sanksi potong tangan terhadap praktik pencurian dengan ukuran melebihi emas sebesar ¼ dinar. “Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta dan terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar” (HR an-Nasa’i dan Amru bin Hazam). “Tangan itu wajib dipotong, (apabila mencuri) 1/4 dinar atau lebih.” (HR Imam Bukhari, dari Aisyah r.a.).

© Zakat uang yang ditentukan Allah Swt berkaitan dengan emas dan perak. Allah Swt. juga telah menentukan nisab zakat tersebut dengan emas dan perak.

© Rasulullah saw. telah menetapkan emas dan perak sebagai uang sekaligus sebagai standar uang. Setiap standar barang dan tenaga yang ditransaksikan akan senantiasa dikembalikan kepada standar tersebut.

© Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) dalam Islam yang terjadi dalam transaksi uang selalu hanya merujuk pada emas dan perak, bukan dengan yang lain. Hal ini adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut harus berupa emas dan perak, bukan yang lain.

Nabi saw. bersabda,”Emas dengan mata uang (bisa terjadi) riba, kecuali secara tunai” (HR Imam Bukhari).

Oleh karena itu, ketika syara’ menyatakan lafadz-lafadz emas dan perak, bisa diperuntukkan dua hal: Pertama, untuk jenis uang yang dipergunakan dalam melakukan transaksi, baik berupa tembaga, kertas uang, atau lainnya, asalkan mempunyai penjamin berupa emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak itu sendiri. Dengan demikian, uang jenis apa pun, baik emas maupun perak, uang kertas, tembaga, ataupun yang lain, dapat digunakan sebagai mata uang selama memungkinkan untuk ditukarkan menjadi emas dan perak, karena emas dan peraklah yang menjadi standar.

Keunggulan dan Keterbatasan Sistem Emas dan Perak

Sebuah keuntungan yang dimiliki oleh sistem uang emas jika dibanding dengan sistem uang kertas ataupun sistem-sistem mata uang lainnya adalah sistem uang emas bersifat internasional. Hal ini tidak mungkin dimiliki oleh sistem-sistem uang lain. Dunia secara keseluruhan telah mempraktikkan sistem uang emas dan perak, sejak ditemukannya uang, hingga Perang Dunia I. Keunggulan sistem uang dua macam logam tersebut menjadi alasan mengapa harga-harga komoditas saat itu tetap terjaga dengan standar yang tinggi. Akibatnya, laju produksi terdorong dengan kuat karena tidak ada ketakutan adanya fluktuasi harga. Nilai mata uang tersebut menjadi lebih stabil. Akan tetapi, ketika imperialisme ekonomi dan kekayaan mulai dijalankan, para imperialis mempergunakan uang sebagai salah satu sarana penjajahan. Mereka mengubah sistem uang emas ke dalam sistem uang lain. Dengan kuatnya mata uang yang dimiliki negara imperialis, mereka dapat memaksakan berbagai kebijakan ekonominya kepada negara lain, termasuk negeri Islam. Dari sinilah, muncul sebuah keharusan untuk kembali kepada sistem emas dan perak dengan beberapa pertimbangan manfaat sistem uang emas. Menurut an-Nabhani (1990) di antara manfaat yang paling penting dari sistem mata uang emas adalah sebagai berikut.

a. Sistem uang emas akan mengakibatkan kebebasan pertukaran emas, mengimpor, dan mengekspornya; yakni masalah yang menentukan peranan kekuatan uang, kekayaan, dan perekonomian. Dalam kondisi semacam ini, aktivitas pertukaran mata uang tidak akan terjadi karena adanya tekanan luar negeri, sehingga bisa memengaruhi harga-harga barang dan gaji para pekerja.

b. Sistem uang emas, juga berarti tetapnya kurs pertukaran mata uang antarnegara. Akibatnya, akan meningkatkan perdagangan internasional. Sebab, para pelaku bisnis dalam perdagangan luar negeri tidak takut bersaing. Karena kurs uangnya tetap, maka mereka tidak khawatir dalam mengembangkan bisnisnya.

c. Dalam sistem uang emas, bank-bank pusat dan pemerintah, tidak mungkin memperluas peredaran kertas uang, karena secara umum kertas uang tersebut bisa ditukarkan menjadi emas dengan harga tertentu. Sebab, pemerintah-pemerintah tertentu khawatir jika memperluas peredaran kertas uang tersebut, justru akan menambah jumlah permintaan akan emas, sementara pemerintah sendiri tidak sanggup menghadapi permintaan tersebut. Oleh karena itu, untuk melindungi kertas uang yang dikeluarkan serta sikap hati-hati pemerintah terhadap emas, pemerintah tersebut akan melakukan penimbunan (uang emas).

d. Tiap mata uang yang dipergunakan di dunia, selalu dibatasi dengan standar tertentu yang berupa emas. Di samping itu, pada saat itu pengiriman barang, kekayaan, dan orang dari satu negara ke negara lain, menjadi sedemikian mudah. Dengan demikian, masalah potongan serta kelangkaan uang bisa dihilangkan.

e. Tiap negara akan menjaga kekayaan emas, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas dari satu negara ke negara lain. Selain itu, negara pun tidak akan memerlukan kontrol sekecil-kecilnya untuk melindungi kekayaannya. Sebab, kekayaan tersebut tidak akan ditransfer dari negara tersebut kecuali karena adanya alasan yang sah menurut syara’, yakni adakalanya untuk membayar barang atau gaji para pekerja.

Sementara itu, beberapa kendala yang akan dihadapi dalam menerapkan sistem mata uang emas dan perak adalah sebagai berikut:

1. Sirkulasi emas akan terpusat di negara-negara yang memiliki kemampuan dan kekuatan produksi, serta negara yang memiliki kemampuan bersaing dalam perdagangan internasional, atau memiliki keunggulan dalam hal ilmu dan teknologi.

2. Emas telah menjadi devisa beberapa negara sebagai akibat dari neraca keuangannya. Namun, negara tersebut berusaha mencegah berpengaruhnya emas yang masuk dalam pasar di dalam negeri, serta menaikkan tingkat harga di sana. Caranya, negara yang bersangkutan melempar sejumlah obligasi di pasar, yang mampu menarik alat tukar dalam bentuk uang, sebagai pengganti nominal emas yang dinyatakan di dalamnya. Karena itu, emas tersebut tetap berada di beberapa negara tadi, dan tidak bisa keluar dari sana. Bahkan, tidak pernah kembali ke negara yang mengeluarkannya. Dengan demikian, negara yang bersangkutan menjadi terancam, akibat sistem uang emas tersebut.

3. Tersebarnya sistem uang emas tersebut telah dibarengi dengan konsep pengistimewaan di antara beberapa negara–dalam beberapa aspek produksi yang berbeda–serta tidak adanya hambatan-hambatan dalam perdagangan di antara negara-negara tersebut. Namun, negara-negara tersebut memiliki kecenderungan yang kuat untuk melindungi industri dan pertaniannya. Negara-negara tersebut telah menerapkan bea masuk sehingga masuknya barang-barang ke negara-negara tersebut, supaya bisa mengeluarkan emas dari sana, menjadi sangat sulit. Oleh karena itu, negara yang mempraktikkan sistem uang emas tersebut menjadi terancam. Sebab, kalau negara tersebut tidak bisa memasukkan komoditas ekspornya ke negara lain dengan harga biasa, negara tersebut bisa jadi akan terancam menurunkan harga-harga komoditas ekspornya. Bahkan, dengan penurunan harga yang drastis, atau menembus bea masuk tersebut, atau bisa jadi negara tersebut tidak akan memasukkan komoditas ekspornya.

Dalam kondisi semacam ini, negara tersebut jelas mengalami kerugian. Inilah kesulitan-kesulitan yang paling penting, yang dihadapi oleh sistem uang emas apabila sistem uang emas tersebut dipergunakan oleh satu atau sejumlah negara.

Islam dan Pelarangan Riba dan Bunga

Al-Quran menyebut riba untuk bunga yang secara bahasa adalah tambahan, kelebihan, peningkatan, atau surplus. Dalam ilmu ekonomi, bunga merujuk pada kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi pinjaman dari si peminjam, kelebihan dari jumlah uang pokok yang dipinjamkan, yaitu sebagai upah atas dicairkannya sebagian harta dalam waktu yang ditentukan.

Dalam Islam, riba secara khusus menunjuk pada kelebihan yang diminta dengan cara yang khusus. Dengan demikian, praktik riba tidak hanya terjadi pada pinjam meminjam saja, tetapi dapat terjadi dalam jual beli, pinjaman (qardh), dan salam. Secara definitif, riba adalah perolehan harta dengan harta lain yang sejenis dengan saling melebihkan–antara satu dengan yang lain.

Islam menganggap riba berbeda dengan perdagangan. Pandangan ini sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran.

“Mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah [2]: 275).

Dalam kesimpulannya, Rahman (1996) memberikan lima aspek perbedaan riba dengan perdagangan, yakni:

Dalam perdagangan, pemilik modal selain mengharapkan keuntungan juga masih menanggung risiko kerugian juga. Sifat ini tidak terdapat dalam riba. Pemilik modal hanya mau memperoleh keuntungan, sedangkan semua risiko kerugian ditanggung oleh peminjam.

Dalam perdagangan, keuntungan diperoleh melalui inisiatif, kerja keras usaha, dan tentu saja, merupakan hasil dari suatu proses penciptaan nilai yang jelas. Namun, tidak demikian halnya dengan riba, yang tidak membutuhkan semua itu.

Perbedaan lain yang mendasar antara perdagangan dan riba adalah, riba merupakan tambahan yang ditentukan sebelumnya, yang lebih besar dari pinjamannya untuk jangka waktu yang telah ditetapkan, sedangkan keuntungan dari perdagangan dan industri berfluktuasi dan tidak dapat ditentukan dengan jelas.

Dalam transaksi perdagangan, antara penjual pembeli keduanya memperoleh keuntungan. Seorang penjual yang menjual selembar pakaian seharga 10 dinar dengan harga 20 dinar ia akan mendapatkan keuntungan berupa laba 10 dinar. Begitu pula pembeli mendapatkan keuntungan karena ia memperoleh pakaian yang menurutnya sangat berharga baginya. Namun, dalam hal pinjam-meminjam, pemilik uang tidak pernah memberikan pengorbanan apa pun. Jika peminjam mendapatkan keuntungan berupa tenggang waktu pembayaran, itu bukanlah keuntungan yang nyata. Karena itu, pemilik uang tidak boleh menuntut tambahan riba sebagai imbalan untuk waktu, sebab waktu bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual-belikan.

Pada transaksi perdagangan, penjual hanya akan memperoleh keuntungan sekali saja, yaitu ketika komoditas dagangannya terjual. Sementara itu, pemilik uang yang membungakan pinjaman dapat meraih keuntungan berulang kali karena perpanjangan tenggang waktu pembayaran.

Inilah kondisi-kondisi nyata yang terjadi pada riba dan perdagangan. Riba dengan jelas sangat merugikan dan perdagangan mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Maka dari itu, dapatlah dipahami mengapa Allah Swt. melarang riba, tapi menghalalkan jual beli.

Pelarangan Riba dalam Al-Quran

Islam melarang keras sekali perbuatan riba. Pada awal kerasulannya, Rasulullah saw. telah mendapat peringatan Allah Swt. supaya membersihkan diri. Allah menjelaskan dan mengabarkan supaya Rasulullah saw. menahan diri dari materi. Sesudah itu, Rasulullah berturut-turut mendapatkan keterangan tentang bahayanya riba. Ayat pertama yang diturunkan tentang riba adalah firman Allah Swt.:

“Suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang yang melipatgandakan” (TQS Ar-Ruum [30]: 39).

Ayat ini diturunkan di Makkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apa pun mengenai haramnya riba. Yang ada hanyalah isyarat kebencian Allah Swt. terhadap tiba, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba.

Ayat yang kedua tentang riba adalah firman Allah Swt. tentang tindakan orang Yahudi (dengan salah satunya praktik riba mereka) yang menyebabkan kemurkaan Allah Swt. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:

“Maka lantaran kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik yang sedianya dihalalkan kepada mereka. Lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah dilarangnya” (TQS an-Nisaa [4] : 160-161).

Ayat yang ketiga yang berkaitan dengan riba adalah firman Allah Swt. yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda …” (TQS Ali ’Imran [3]: 130).

Ayat ini diturunkan di Madinah dan mengandung larangan tegas, yaitu tentang pengharaman salah satu jenis praktik riba, riba Nasi’ah. Namun, larangan dalam ayat tersebut masih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat ini hanya berlaku bagi praktik-praktik riba yang keji dan jahat, yang bentuknya membungakan uang dengan berlipat ganda.

Ayat tentang riba yang terakhir diturunkan adalah firman Allah Swt. yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman …” (TQS al-Baqarah [2]: 278).

Dengan turunnya ayat ini, maka riba telah diharamkan secara menyeluruh, tidak lagi dibedakan, yang banyak ataupun sedikit.

Pertukaran Mata Uang

Dalam sistem ekonomi Islam, pertukaran mata uang dengan mata uang yang sejenis, atau pertukaran dengan mata uang asing termasuk ke dalam aktivitas sharf. Aktivitas sharf atau pertukaran mata uang menurut hukum Islam adalah boleh, sebab sharf adalah pertukaran harta dengan harta lainnya yang berupa emas dan perak, baik sejenis maupun yang tidak sejenis, dengan berat dan ukuran yang sama dan boleh berbeda (al-Maliki, 1963).

Dasar kebolehan pertukaran mata uang (sharf) tersebut adalah sabda Rasulullah saw.:

“Juallah emas dengan perak sesuka kalian, dengan syarat harus tunai” (HR Imam Tirmidzi dari Ubadah bin Shamit).

Ubadah bin Shamit mengatakan: ”Aku mendengar Rasulullah saw. melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, sya’ir deng sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, selain sama antara barang yang satu dengan barang yang lain, maka barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan, maka dia telah melakukan riba” (HR Imam Muslim).

“Rasulullah saw melarang menjual emas dengan perak dengan cara diutangkan” (HR Imam Bukhari).

Dari pengertian hadis di atas, dapat dipahami bahwa dalam pertukaran mata uang ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni: (1) Jika pertukaran dilakukan di antara mata uang yang sejenis, maka pertukarannya harus senilai, tapi jika tidak sejenis, boleh berbeda nilai; (2) Pertukaran atau jual beli tersebut haruslah dilakukan secara tunai dan tidak boleh dengan cara diutangkan (kredit); (3) Pertukaran di antara mata uang tersebut dilakukan dalam satu majelis (tempat).

Jual beli mata uang tertentu, misalnya dolar dengan rupiah adalah aktivitas yang boleh selama dilakukan secara kontan dan dalam satu majelis. Karena itulah, pertukaran di money changer selama memenuhi ketentuan di atas adalah boleh. Namun, perdagangan mata uang asing di bursa valas secara langsung atau melalui forex advisor tidak dibolehkan, sebab tidak memenuhi dua syarat kontan dan langsung terjadi serah terima (hand to hand).

Sistem Keuangan Daulah Khilafah Islam

Sebagai sebuah institusi, Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) tentunya memiliki sumber pendanaan bagi kegiatan pembangunan. Sumber-sumber utama pendanaan pembangunan Negara Islam sangat berbeda dengan sumber pendanaan pembangunan negara-negara kapitalis, termasuk Indonesia. Sumber utama pendanaan pembangunan sekarang menitikberatkan pada pendapatan pajak, juga sangat mengandalkan pada pendanaan luar negeri, yakni dari utang luar negeri yang ribawi. Sementara itu, Negara Islam justru tidak mengandalkan pajak dan utang luar negeri.

Sumber-sumber pendanaan Negara Islam dapat kita lihat dari adanya institusi yang menghimpun keuangan Negara sekaligus mempunyai pengaturan pengeluaran tersendiri. Institusi ini bernama Baitul Mal. Baitul Mal adalah lembaga keuangan negara yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.

Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi tiga sumber, yakni:

Pendapatan dari Pengelolaan Negara atas Kepemilikan Umum.

Benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berikut:

1. Fasilitas Umum. Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Apabila barang tersebut tidak ada di dalam suatu negeri atau pada suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Rasulullah saw. telah menjelaskan dalam sebuah hadis bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda:

»أَلنَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ ، أَلْمَاءُ وَالْكَلاَءُ وَالنَّارُ«

“Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Daud).

2. Bahan tambang yang tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang yang jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%) daripadanya. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar termasuk milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi;

3. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

“Kota Mina adalah tempat parkir unta bagi orang yang lebih dulu (datang).” (Maksudnya tempat untuk umum)

Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya, semisal bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut, semuanya telah ditetapkan syara’ sebagai kepemilikan umum. Negara mengelolanya dengan mengatur produksi, memperoleh pendapatan dari penjualan hasil produksinya, serta mendistribusikan aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:

1. Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, bagi setiap individu berhak menfaatkan secara langsung atas barang-barang tersebut.

2. Pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar, seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negara yang berhak mengelolanya untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang di dalam mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat.

Pendapatan dari Ghanimah, Kharaj, Fa’i, Jizyah, Dharibah (Pajak)

Ghanimah adalah harta rampasan perang. Setelah dibagikan kepada pasukan yang ikut berperang, maka sisanya dimasukkan ke dalam Baitul Mal sebagai sumber pemasukan bagi negara. Jizyah adalah hak yang diberikan Allah Swt. kepada kaum muslim dari orang-orang kafir, karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam. Jizyah adalah kewajiban bagi orang kafir dzimmi, sehingga dengan sendirinya jizyah menjadi tidak wajib apabila mereka telah memeluk Islam. Jizyah hanya diambil dari kaum prianya dan tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak, serta orang gila.

Kharaj berkaitan dengan kewajiban atas tanah kharajiyah. Sebagaimana pembahasan tentang pertanahan, tanah kharajiyah merupakan lahan tanah yang dirampas dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka. Status tanah ini bersifat tetap sehingga tidak berubah meskipun pemilik tanah ini telah memeluk Islam. Kharaj merupakan kewajiban kaum kafir yang dibayarkan apabila mereka menyepakati bahwa tanah tersebut adalah milik kaum muslim dan mereka mengakuinya dengan membayar kharaj.

Adapun Dharibah (pajak) adalah harta yang difardhukan oleh Allah Swt. kepada kaum muslim dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Pada saat kas Baitul Mal kosong, sedangkan pengeluaran wajib Baitul Mal harus ditunaikan, maka negara dapat memberlakukan pajak kepada kaum muslim. Kaum muslim dalam hal ini harus tunduk pada kebijakan khalifah mengenai pemungutan pajak dan penafkahkannya sesuai dengan objek-objek tertentu.

Pendapatan dari Zakat, Infak, Sedekah

Sumber pendapatan lainnya yang ada pada Baitul Mal adalah dari sumber zakat, infak, sedekah, wakaf, hadiah, dan harta yang sejenisnya. Badan ini yang menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib beserta catatan-catatannya. Sekaligus juga mengatur harta-harta lainnya yang masuk pada badan ini. Untuk harta zakat ini dibuatkan tempat khusus di Baitul Mal dan tidak bercampur dengan yang lainnya. Dalam kaitan ini, Allah Swt. telah membatasi orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 golongan.

Yang termasuk dalam kategori sumber pemasukan yang diletakkan di dalam Baitul Mal dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, adalah harta yang diperoleh oleh tebusan tawanan perang dari kafir harbi dan mu’ahid, serta harta-harta yang diperoleh dari hak milik negara, dan harta-harta waris dari orang yang tidak mempunyai ahli waris.

Pengelolaan dan Pemanfaatan Kekayaan Negara

Dalam mengelola dan memanfaatkan kekayaan negara yang diperoleh dari berbagai sumber di atas, negara haruslah memperhatikan dari sumber mana kekayaan tersebut diperoleh. Pemanfaatan harta negara yang ada di Baitul Mal ditetapkan berdasarkan enam kaidah berikut.

1) Pengeluaran untuk keperluan khusus, yaitu harta zakat. Harta tersebut dikeluarkan berdasarkan ada dan tidaknya. Apabila harta dari kas zakat tersebut ada pada Baitul Mal, maka pembelanjaannya disalurkan pada objek-objeknya–yaitu delapan ashnaf yang disebutkan di dalam al-Qur’n. Apabila harta tersebut tidak ada, maka pemilikan orang yang mendapatkan bagian atas harta tersebut telah gugur.

2) Pengeluaran untuk menutupi terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan kewajiban jihad. Contohnya adalah untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta keperluan jihad. Penggunaan dana Baitul Mal untuk keperluan ini, tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib diberikan. Apabila tidak ada, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan karena ditangguhkan, maka negara bisa meminjam harta untuk disalurkan seketika itu juga, berapa pun hasil pengumpulannya dari kaum muslim, setelah itu dilunasi. Namun, bila tidak khawatir akan terjadi kerusakan, maka pembelanjaannya bisa ditunda.

3) Pengeluaran rutin untuk gaji pegawai, seperti gaji tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya. Adapun hak mendapatkan pembelanjaan untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Pembelanjaannya merupakan hak yang bersifat tetap, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak, yakni baik harta tersebut ada maupun tidak ada di dalam Baitul Mal. Apabila harta tersebut ada, maka saat itu wajib dibelanjakan. Apabila tidak ada, maka negara wajib mengusahakannya, dengan cara memungut harta yang diwajibkan atas kaum muslim.

4) Pengeluaran bagi kemaslahatan umum yang vital. Contohnya, pembangunan jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan masalah-masalah lainnya, yang keberadaannya dianggap sebagai masalah yang vital, yaitu umat akan mengalami penderitaan apabila masalah-masalah tersebut tidak ada. Pengeluaran untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Apabila di dalam Baitul Mal ada harta, maka wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta, maka kewajibannya berpindah kepada umat, sehingga harta tersebut bisa dikumpulkan dari umat secukupnya untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran yang bersifat paten tersebut.

5) Pengeluaran bagi kemaslahatan umum yang tidak vital. Contohnya, antara lain pembuatan jalan biasa, ketika jalan yang lain sudah ada, atau membuka rumah sakit baru yang sebenamya sudah cukup dengan adanya rumah sakit yang lain, atau membangun jalan, sementara orang-orang bisa memakai jalan lain, hanya lebih jauh, ataupun yang lain. Pengeluaran untuk keperluan ini ditentukan berdasarkan adanya harta, bukan pada saat tidak adanya. Apabila di dalam Baitul Mal terdapat harta, maka wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta, maka kewajiban tersebut gugur dari Baitul Mal. Kaum muslim juga tidak wajib membayar untuk keperluan ini, sebab sejak awal pembiayaannya tidak wajib bagi kaum muslim.

6) Pengeluaran untuk keperluan darurat, seperti paceklik, angin topan, gempa bumi, atau serangan musuh. Hak pembelanjaannya tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan saat itu juga. Apabila harta tersebut tidak ada, maka kewajibannya dipikul oleh kaum muslim. Hal ini karena harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum muslim saat itu juga. Kemudian, harta tersebut dikumpulkan di Baitul Mal untuk disalurkan kepada yang berhak. Apabila dikhawatirkan akan terjadi penderitaan, karena pembelanjaannya ditunda hingga terkumpul semuanya, maka negara wajib berutang kepada warga negara terlebih dulu, dan pada saat itu juga disalurkan kepada yang berhak. Adapun mengenai utang tersebut akan dibayar dari harta yang dikumpulkan dari kaum muslim.

Untuk mengatur bagaimana pemasukan dan pengeluaran negara, maka di dalam Baitul Mal telah dibuat departemen-departemen dan biro-biro dengan fungsi dan tanggung jawab tertentu agar pengaturan keuangan negara dapat berjalan dengan baik. Secara operasional untuk menjalankan kegiatan keuangan tersebut, dalam Negara Khilafah dibuat badan-badan dan biro-biro yang menangani hal tersebut.

1.Unit Pendapatan Negara

Unit ini dibagi menjadi tiga badan berikut:

A. Badan Fa’i dan Kharaj

Badan ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara, baik harta-harta yang dianggap fa’i bagi seluruh kaum muslim, maupun pajak yang wajib atas kaum muslim pada saat tidak mencukupinya sumber-sumber pemasukan Baitul Mal untuk mendukung pembelanjaan yang wajib, baik dalam keadaan krisis maupun tidak. Untuk keperluan ini, dikhususkan suatu tempat di dalam Baitul Mal dan tidak dicampur dengan harta lainnya. Hal ini karena harta harta tersebut digunakan khusus untuk mengatur kepentingan kaum muslim serta kemaslahatan mereka sesuai dengan pendapat dan ijtihad khalifah.

Biro-biro yang ada pada badan fa’i dan kharaj dibentuk sesuai dengan harta yang masuk ke dalamnya serta jenis-jenis harta tersebut, yaitu:

· Biro Ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fa’i dan khumus;

· Biro Kharaj;

· Biro Status Tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (unwah), tanah ‘usyriyah, sawafi, tanah-tanah yang dimiliki negara, tanah-tanah milik umum, dan tanah-tanah terla­rang (cagar);

· Biro Jizyah;

· Biro Fa’i yang meliputi surat-surat berharga tentang sawafi, ‘usyur, 1/5 rikaz, dan barang tambang, tanah yang dijual dan harta warisan yang tidak ada pewarisnya;

· Biro pajak.

B. Badan Pemilikan Umum.

Badan ini menjadi tempat penyimpanan dan catatan harta-harta milik umum. Selain itu, badan ini juga sebagai pencari, penyelidik, yang membe­lanjakan dan menerima harta-harta milik umum. Untuk harta benda badan ini, dibuat tempat khusus di Baitul Mal dan tidak dicampur dengan harta benda badan-badan yang lainnya. Harta ini milik seluruh kaum muslim. Khalifah membelanjakan harta ini untuk kepentingan kaum muslim. Hal ini berdasarkan keputusan dan ijtihad khalifah.

Biro-biro yang ada dalam badan pemilikan umum dibentuk berdasarkan jenis harta pemilikan umum, yaitu:

1. Biro Minyak dan Gas;

2. Biro Listrik;

3. Biro Barang Tambang;

4. Biro Laut, Sungai, dan Mata Air;

5. Biro Hutan dan Padang Gembalaan;

6. Biro Cagar Alam.

C. Badan Sedekah

Badan ini yang menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib beserta catatan-catatannya. Biro-biro dalam badan sedekah ini dibentuk berdasarkan jenis harta zakat, yaitu:

1. Biro Zakat Uang dan Perdagangan;

2. Biro Zakat Pertanian dan Buah-buahan;

3. Biro Zakat Unta, Sapi, dan Kambing.

Untuk harta zakat ini dibuatkan tempat khusus di Baitul Mal dan tidak bercampur dengan yang lainnya. Hal ini karena Allah Swt. telah membatasi orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 golongan. Sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, seba­gai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS at-Taubah [9]: 60). Tidak boleh diambil harta zakat tersebut untuk selain mereka (8 golongan).

2. Unit Pembelanjaan Negara

Adapun unit pembelanjaan negara dan harta yang harus dibelanjakan oleh Baitul Mal untuk berbagai keperluan yang meliputi pembiayaan bagian-bagian Baitul Mal itu sendiri, biro-biro, administrasi negara, dan hal-hal lain, yaitu:

1. Badan Rumah Khilafah, yang mencakup:

· Kantor Khilafah,

· Kantor Penasihat (Mustasyaarin),

· Kantor Mu’awin Tafwid (Pembantu Khalifah dalam Urusan Pemerintahan),

· Kantor Mu’awin Tanfidz (Pembantu Khalifah dalam Urusan Administrasi)

2. Badan yang mengurus Departemen-Departemen Negara (Mashalih Daulah), mencakup:

· Biro Amir Jihad (Direktur Jenderal)

· Biro Para Wali

· Biro Para Qadhi

· Biro Departemen Negara, Biro-biro lain, Administrasi Negara, dan Fasilitas Umum.

3. Badan Pemberi/Bantuan

Badan ini merupakan tempat penyimpanan arsip-arsip dari kelompok masyarakat tertentu yang menurut pendapat khalifah berhak untuk memperoleh pemberian dari negara, yaitu orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan sangat membutuhkan, yang berutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain yang layak diberi subsidi. Tiga badan ini memperoleh subsidi dari badan fa’i dan kharaj.

4. Badan Jihad, meliputi:

a) Badan Pasukan yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan, dan pelatihan pasukan

b) Badan Persenjataan (Amunisi)

c) Badan Industri Senjata

Badan-badan ini dibiayai dari pendapatan yang diperoleh seluruh badan-badan pada unit pertama dari Baitul Mal (Badan Fa’i dan Kharaj, Badan Pemilikan Umum, dan Badan Zakat). Demikian pula badan ini dibiayai dari harta pemilikan umum yang dikuasai negara dan juga dari pendapatan Badan Zakat, karena termasuk ke dalam salah satu golongan (fii sabiilillah) dari 8 golongan yang terdapat dalam Surat at-Taubah (9) ayat 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”.

5. Badan Penyimpanan Harta Zakat

Badan ini dibiayai dari pendapatan Badan Zakat dalam kondisi ada harta.

6. Badan Penyimpanan Harta Pemilikan Umum

Badan ini dibiayai dari pendapatan Badan Pemilikan Umum berdasarkan pendapat khalifah (hukum syara’).

7. Badan Urusan Bencana Alam (Ath-Thawaari)

Badan ini membiayai setiap bencana alam mendadak yang menimpa kaum muslim, seperti gempa bumi, angin topan, kelaparan, dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan oleh badan ini diperoleh dari pendapatan Badan Fa’i dan Kharaj, serta dari Badan Pemilikan Umum. Apabila tidak terdapat harta dalam kedua badan tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim (sumbangan suka rela atau pajak).

8. Badan Neraca Umum Negara (Al-Muwaazanah Al-Ammah), Pengendali Umum (Al-Muhaasabah Al-Ammah) dan Badan Pengawas (Al-Muraaqabah).

v Badan Neraca Umum Negara adalah badan yang mempersiapkan neraca pendapatan dan belanja negara yang akan datang–sesuai dengan pendapat khalifah, berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan dan pembelanjaan harta yang dimiliki negara. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan pendapatan dan belanja riil secara global, serta mengikuti fakta pendapatan dan belanja negara yang tengah berlangsung secara terperinci. Badan ini merupakan bagian dari Kantor Khilafah.

v Badan Pengendali Umum adalah badan yang mengendalikan semua harta nega­ra. Dengan kata lain merupakan badan yang bertugas memeriksa harta negara dari segi keberadaannya, keperluan-keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya, realisasinya, dan yang berhak menerimanya. Badan Pengawas adalah badan yang bertugas mengawasi dan meneliti secara mendalam bukti-bukti hasil pemeriksaan harta negara dan peruntukkannya dari Badan Pengendali Umum. Badan ini harus benar-benar melakukan fungsi pengawasan terhadap harta negara, yaitu meyakinkan ada tidaknya harta, sah tidaknya harta yang ada, keperluan-keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya, serta memeriksa para penanggung jawabnya yang berkenaan dengan perolehan, peruntukan, dan pembelanjaan harta tersebut. Badan ini pun bertugas memeriksa urusan administrasi semua badan-badan dan biro-biro negara beserta staf-stafnya.

Inilah badan-badan keuangan Negara Khilafah secara global. Adapun dalil keberadaannya adalah bahwasanya badan-badan ini merupakan salah satu bentuk dari urusan administra­si dan merupakan sarana yang akan mempermudah melakukan aktivitas kenegaraan. Rasulullah saw. telah mengatur masalah adminisrasi negara secara langsung oleh beliau sendiri dan juga mengangkat para penulis untuk urusan tersebut. Hal ini beliau lakukan, baik yang berkaitan dengan urusan harta maupun urusan lainnya.

Harus diperhatikan, bahwasanya semua ayat dan hadis yang membolehkan harta anfal, ghanimah, fa’i, jizyah, dan kharaj, serta menjadikannya sebagai hak kaum muslim dari orang-orang kafir; demikian pula semua ayat dan hadis yang menunjukkan wajibnya zakat (termasuk kepada siapa diberikannya), dan harta pemilikan umum, seluruhnya menunjukkan–dengan dalalatul-iltizam–tentang bolehnya menetapkan bentuk administrasi tertentu yang digunakan untuk pengambilan, penyimpanan, penulisan, pembelanjaan, dan pembagian harta. Hal ini karena bentuk-bentuk administrasi tersebut merupakan cabang dari permasalahan pokok, sehingga termasuk ke dalamnya. Oleh karena itu, urusan ini merupakan hal yang mubah bagi khalifah untuk menggunakan dan mengadopsinya sesuai dengan pendapatnya, bahwa hal tersebut adalah berguna untuk pengaturan cara pendapatan, pengendalian, pemeliharaan, pendistribusian, serta pembelanjaan harta. Faktanya hal ini (penggunaan dan pengadopsian badan-badan Baitul Mal) telah terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin dan seluruhnya berlangsung sepengetahuan para sahabat tanpa ada penolakan dari seorang pun di antara mereka (ijma’ sahabat).

Pengelolaan Keuangan Negara

Berdasarkan uraian di atas, Negara Islam ternyata mempunyai cara mekanisme tersendiri dalam mengatur sistem mata uang, sistem keuangan, dan moneter. Cara-cara tersebut sangat berbeda dengan cara-cara negara kapitalis dalam mengelola keuangan negara. Dengan sistem mata uang dua logam akan membuat mata uang Negara Khilafah menjadi kuat dan stabil. Dampak selanjutnya adalah akan memudahkan dalam merencanakan berbagai kegiatan pembangunan. Demikian pula dengan larangan kegiatan spekulatif nonproduktif, maka sektor riil akan tumbuh pesat. Hal yang sama juga terjadi jika riba atau bunga uang dilarang, sektor riil akan tumbuh dengan pesat. Dana yang ada tidak boleh dibiarkan diam, tapi harus berputar. Dana-dana yang disalurkan ke sektor riil dan ini pada gilirannya akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat.

Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk Baitul Mal sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak untuk seluruh masyarakat. Namun, dalam kondisi untuk memenuhi kebutuhan vital dan mendesak, sementara kas negara sedang kosong, negara dapat memungut harta masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini sebenarnya merupakan harta yang difardhukan oleh Allah Swt. kepada kaum muslim dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Harta yang dikumpulkan ini boleh disebut pajak (dharibah), atau harta yang diwajibkan, ataupun sebutan-sebutan yang lain. Pemungutan pajak dilakukan dalam rangka:

© memenuhi pengeluaran wajib bagi Baitul Mal, misalnya untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta dalam melaksanakan kewajiban jihad;

© memenuhi pengeluaran rutin yang wajib bagi Baitul Mal, yaitu untuk gaji pegawai negeri, tentara, dan sebagainya;

© memenuhi pengeluaran wajib bagi Baitul Mal untuk keperluan sarana vital;

© memenuhi pengeluaran wajib bagi Baitul Mal dalam kondisi darurat, seperti ada paceklik, angin topan, gempa bumi, serangan musuh, atau apa saja yang menimpa kaum muslim;

© melunasi utang-utang negara dalam rangka melaksanakan kewajiban negara terhadap kaum muslim.

Dengan demikian, pajak yang dikenakan oleh negara Islam sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalis. Di dalam Islam itu hanya digunakan sebagai penyangga jika kondisi keuangan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Sementara itu, dalam sistem kapitalis pajak merupakan sumber utama pendanaan negara.

Demikian pula dengan sumber pendanaan luar negeri yang berasal dari utang. Negara Islam sedapat mungkin menghindarkan diri berutang ke negara mana pun. Hal ini karena bahaya yang diperoleh dari utang luar negeri begitu besar. Kalaupun berutang, maka akan diprioritaskan kepada warga negara (utang dalam negeri), dengan syarat tidak boleh mengandung unsur riba. Selain itu, bahaya yang tersembunyi di balik utang-utang luar negeri dari negara-negara kapitalis adalah sangat besar. Dengan cara itu, amat mudah bagi negara kapitalis untuk menghancurkan sebuah negara yang telah berada dalam genggaman utang-utangnya. Dalam hal ini Islam melarang kaum muslim melakukan berbagai aktivitas yang dapat mejadikan orang-orang kafir berkuasa atas mereka (QS an-Nisaa [4]: 141). Islam juga melarang kaum muslim menimbulkan kerusakan dan membahayakan diri sendiri. Rasulullah saw. Bersabda,“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain di dalam Islam.”

Namun, meskipun utang luar negeri dapat membahayakan, bukan berarti bahwa Islam mengharamkan sama sekali bantuan luar negeri (utang). Boleh saja bagi kaum muslim (Negara Islam) menerima bantuan luar negeri (utang) dari negara lain selama tidak terkait dengan sistem ribawi, juga selama persyaratan-persyaratannya tidak mengikat, serta dapat dipastikan bahwa dibalik bantuan tersebut (utang) tidak tersembunyi bahaya-bahaya, seperti yang telah diuraikan di atas. Akan tetapi, perlu disampaikan bahwa dalam Islam bantuan luar negeri (utang) bukan priotitas utama untuk mendapatkan dana bagi keperluan negara.